Kemenkes: 'Hindari Kegaduhan Pelaksanaan Program Duta 1.000 HPK'
A
A
A
JAKARTA - Direktur Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan, Doddy Izwardy mengatakan, untuk mencegah kegaduhan atas program ‘Duta 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)’. Sebagai regulator, pemerintah siap disalahkan oleh sejumlah kalangan atas pelaksanaan program perbaikan gizi anak Indonesia itu.
"Pemerintah siap disalahkan. Biar jangan ada kegaduhan lagi, hari Senin (12/10/2015) kami akan duduk bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan di Kemenkes," kata Doddy saat di hubungi di Jakarta, Sabtu, (10/10/2015).
Seperti diketahui, ‘Program Duta 1.000 HPK’ adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kemenko PMK, Kemenkes dan sejumlah lembaga kredibel lainnya, macam IDAI, PDGMI, POGI. Serta lembaga swadaya masyarakat berjaringan luas PKPU.
Harusnya lembaga ini, menjadi motor dalam implementasi gerakan tersebut, dengan didasari niat baik berbagai komponen pemangku kepentingan. Tentunya untuk secara bersama-sama memberikan sumbangsih, dalam menyukseskan ‘Gerakan 1000 HPK’ yang sayangnya harus terhenti sementara mulai awal Oktober ini.
Doddy Izwardy berjanji, akan menyelesaikan permasalahan yang ditudingkan sejumlah kalangan kepada sektor industri. Dalam pelaksanaan program untuk memperbaiki gizi anak Indonesia ini secara profesional.
"Wasitnya saya. Kami harus bijak untuk kepentingan bangsa. Jangan saling menuduh," kata Doddy lebih lanjut.
Doddy pun merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 42 tahun 2013 sebagai payung hukum 1.000 HPK di Indonesia, dengan dibentuknya gugus tugas ‘Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi’ yang juga melibatkan pihak ketiga untuk menyukseskan progam ini.
Dari hasil Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan pada 2014, konsumsi susu anak-anak di Indonesia hanya 6 persen. Jumlah ini sangat jauh tertinggal dengan tetangga kita Thailand, apalagi kalau dibandingkan dengan Malasysia dan Singapura. "Kalau program ini terhenti yang dirugikan tentunya anak-anak di seluruh Indonesia," ujarnya.
Pria kelahiran Medan ini sekali lagi menegaskan, jangan ada kegaduhan yang tidak perlu, padahal semua komponen dapat saling bersinergi menyukseskan program ini demi masa depan anak bangsa. "Kita cooling down dulu," tukasnya.
Sementara itu pada kesempatan lainnya, Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia, Hardinsyah, mengatakan bahwa program ‘1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)’ yang sejak awal diluncurkan, bukan hanya semata-mata tanggung jawab pemerintah. Tapi juga harus melibatkan berbagai pihak baik masyarakat, maupun sektor swasta.
"Program seperti itu sudah ada sejak zaman dulu, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta hak dan berkembangnya potensi ibu dan anak. Ini perlu keterlibatan swasta dan masyarakat," ujar Hardinsyah.
Pria yang juga Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, menilai keterlibatan masyarakat dan swasta dalam program 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) dijamin oleh Undang-Undang (UU), sehingga tak layak untuk dipertentangkan.
"Baik di tingkat dunia melalui PBB maupun di Indonesia, program serupa itu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan sepenuhnya dijamin aturan," ucap Hardinsyah menambahkan.
Seharusnya, program Duta 1.000 HPK tidak dihentikan begitu saja. Pasalnya, penganggulangan masalah gizi yang terjadi di pelosok tanah air, harus menjadi tanggung jawab bersama segenap komponen bangsa. Termasuk sektor industri sebagai salah satu motor untuk mensukseskan program yang telah berjalan dengan baik.
Adapun Arif Mujahidin, Head of Corporate Affairs Sarihusada, mengharapkan komunikasi antar pemangku kepentingan hendaknya lebih mengedepankan prasangka baik dan tanpa saling mendiskreditkan satu sama lain. Sehingga seluruh sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bisa bersinergi untuk mencapai tujuan bersama secara optimal.
"Semua pihak harus terbuka dalam pemikiran dan menerima masukan tanpa upaya paksa dan tekanan, untuk menghalangi inisiatif pemangku kepentingan manapun guna berperan dalam membangun bangsa kita," kata Arif Mujahidin menanggapi.
"Gerakan percepatan gizi ini harus berjalan baik untuk masa depan anak Indonesia," tukas Doddy, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Kerjasama Kesehatan Regional Kemenkes ini menutup pembicaraan.
"Pemerintah siap disalahkan. Biar jangan ada kegaduhan lagi, hari Senin (12/10/2015) kami akan duduk bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan di Kemenkes," kata Doddy saat di hubungi di Jakarta, Sabtu, (10/10/2015).
Seperti diketahui, ‘Program Duta 1.000 HPK’ adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kemenko PMK, Kemenkes dan sejumlah lembaga kredibel lainnya, macam IDAI, PDGMI, POGI. Serta lembaga swadaya masyarakat berjaringan luas PKPU.
Harusnya lembaga ini, menjadi motor dalam implementasi gerakan tersebut, dengan didasari niat baik berbagai komponen pemangku kepentingan. Tentunya untuk secara bersama-sama memberikan sumbangsih, dalam menyukseskan ‘Gerakan 1000 HPK’ yang sayangnya harus terhenti sementara mulai awal Oktober ini.
Doddy Izwardy berjanji, akan menyelesaikan permasalahan yang ditudingkan sejumlah kalangan kepada sektor industri. Dalam pelaksanaan program untuk memperbaiki gizi anak Indonesia ini secara profesional.
"Wasitnya saya. Kami harus bijak untuk kepentingan bangsa. Jangan saling menuduh," kata Doddy lebih lanjut.
Doddy pun merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 42 tahun 2013 sebagai payung hukum 1.000 HPK di Indonesia, dengan dibentuknya gugus tugas ‘Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi’ yang juga melibatkan pihak ketiga untuk menyukseskan progam ini.
Dari hasil Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan pada 2014, konsumsi susu anak-anak di Indonesia hanya 6 persen. Jumlah ini sangat jauh tertinggal dengan tetangga kita Thailand, apalagi kalau dibandingkan dengan Malasysia dan Singapura. "Kalau program ini terhenti yang dirugikan tentunya anak-anak di seluruh Indonesia," ujarnya.
Pria kelahiran Medan ini sekali lagi menegaskan, jangan ada kegaduhan yang tidak perlu, padahal semua komponen dapat saling bersinergi menyukseskan program ini demi masa depan anak bangsa. "Kita cooling down dulu," tukasnya.
Sementara itu pada kesempatan lainnya, Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia, Hardinsyah, mengatakan bahwa program ‘1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)’ yang sejak awal diluncurkan, bukan hanya semata-mata tanggung jawab pemerintah. Tapi juga harus melibatkan berbagai pihak baik masyarakat, maupun sektor swasta.
"Program seperti itu sudah ada sejak zaman dulu, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta hak dan berkembangnya potensi ibu dan anak. Ini perlu keterlibatan swasta dan masyarakat," ujar Hardinsyah.
Pria yang juga Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, menilai keterlibatan masyarakat dan swasta dalam program 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) dijamin oleh Undang-Undang (UU), sehingga tak layak untuk dipertentangkan.
"Baik di tingkat dunia melalui PBB maupun di Indonesia, program serupa itu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan sepenuhnya dijamin aturan," ucap Hardinsyah menambahkan.
Seharusnya, program Duta 1.000 HPK tidak dihentikan begitu saja. Pasalnya, penganggulangan masalah gizi yang terjadi di pelosok tanah air, harus menjadi tanggung jawab bersama segenap komponen bangsa. Termasuk sektor industri sebagai salah satu motor untuk mensukseskan program yang telah berjalan dengan baik.
Adapun Arif Mujahidin, Head of Corporate Affairs Sarihusada, mengharapkan komunikasi antar pemangku kepentingan hendaknya lebih mengedepankan prasangka baik dan tanpa saling mendiskreditkan satu sama lain. Sehingga seluruh sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bisa bersinergi untuk mencapai tujuan bersama secara optimal.
"Semua pihak harus terbuka dalam pemikiran dan menerima masukan tanpa upaya paksa dan tekanan, untuk menghalangi inisiatif pemangku kepentingan manapun guna berperan dalam membangun bangsa kita," kata Arif Mujahidin menanggapi.
"Gerakan percepatan gizi ini harus berjalan baik untuk masa depan anak Indonesia," tukas Doddy, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Kerjasama Kesehatan Regional Kemenkes ini menutup pembicaraan.
(sbn)